Selasa, 28 September 2010

DAUN YANG "TERSENYUM"

Subuh hari ini terasa lebih nikmat, ada tawa dan cekikikan. Riuh serapah tentang kisah semalam tak lagi nampak. Duduk berdua dalam tawa, bicara, dan bertingkah semaunya. Tak peduli anjing menggonggong yang kelaparan karena ku tampar. Hanya itu yang masih ku ingat tentang kisah semalam, selalu riuh dalam menjalani tiap jengkal nafasnya. Jika hanya sekedar menangis dalam satu detik, detik berikutnya sudah tak tampak lagi air matanya, dan hanya terselip tawa riang gembira. Hanya mencoba berjalan dan melangkah sesuai kata hati, dan menghilang dalam kegelapan. Selalu saja tanpa tujuan dan rencana, hanya mengikuti kemana pun kaki melangkah dan menimbulkan bercak air yang terinjak.

Kalau memang harus berujar tanpa kata dan peristiwa, mungkin tak usah susah payah dan tergopoh2 kita memandang semua. Hanya dengan sedikit senyum dan dengan bumbu tawa semua hal dapat tergapai dengan mesra dan indah. Atau mungkin hari ini kita kasih cuti untuk semua kata. Toh kasian juga mereka, harus setiap hari melayani semua orang di dunia. pastinya capek dan lelah. Harus setiap detik dan setiap bicara harus selalu siap siaga. 

Memang inilah impian yang tak lazim, menggapai semua tawa di seluruh pelosok nusantara tercinta. Ketika kata 'miskin' masih terpakai di sana dan di sini, mampukah impian terobati dengan tergapai. Miskin hanyalah karena tak ada duit di kantong, diluar itu kita masih tetap kaya raya. Kaya tawa, kaya senyum, kaya bahagia, dan kaya karena masih bernafas. Untuk para malaikat yang selalu mendampingi kita kemana pun saja, kita masih belum mau senyum. Atau mungkin Indonesia bukanlah miskin harta, tapi miskin senyum. Entahlah....

Berpikir ulang tentang teorema tawa dan senyum, hanya menjadikan hati kalang kabut tak karuan. Merana dalam diam, dan tertawa dalam pahit. Keesokan hari, mungkin aku hanya mau tertawa dengan para dedaunan, yang setiap kali kuajak bicara hanya diam, tapi bergoyang goyang ketika setiap ku tersenyum dengan santainya. Mereka bernafas, mereka minum, mereka makan, bahkan mereka perlu kelembutan. Karena mereka juga hidup, seperti manusia yang punya roh untuk hidup, mereka juga. Atau mungkin ku ingin berbaik hati dengan para kucing, kuajak bicara (meong meong meong....), dan sekali kali ku ajak mereka tertawa dan riang gembira bersama. 


Sabtu, 25 September 2010

NAMAKU CERITA INDAH PAGI INI

Ketika itu matahari masih malu2 untuk menampakan mukanya yang menyilaukan. Ketika itu tatapan angin masih sepoi2 dan membisikan pelan dalam dingin. Ketika itu ayam masih dengan segarnya membangunkan. Ketika itu Teh dan Kopi masih mengepul. Dan hanya ketika itu semua itu terjadi secara bersama dalam satu hentakan waktu. Masih dalam ingatan yang membahana dalam pikiran, semua itu tetap indah ketika itu. Tak ada deru mobil, motor, atau bahkan sepeda sekalipun. Hanya gemericik angin yang terus mengalunkan nafasnya, sedikit demi sedikit tanpa hentakan.
 
Seperti semua menghilang tanpa bekas dan telapak kaki yang tertinggal. Kepulan asap dari kopi panas yang tersedia menyapa dengan harum dan santun, dan hanya ketika itu secangkir kopi dapat menyapa dengan keheningan. Sore bergulir jadi malam, dan mlam tiba2 jadi pagi. Nafas dihidung masih setengah baya, belum cukup tua untuk dicerna. Bintang di atas sana sudah mulai mengantuk dan ingin cepat2 pulang keperaduan. Suara bayi yang mulai mengalankan kemerdekaan membahana kemana2. Dalam hitungan menit, aku menyang keindahan ini akan buyar. 

Perkenalkan kawan, namaku ketika itu adalah "Cerita Indah Pagi Ini". Dan catatlah, hanya ketika itu. Dan hanya ketika itu pula ku bersujud demi malam yang telah kulewati. dengan seksama dan tanpa kata, ketika itu ku hanya hanya berujar, "ini hanya terjadi dalam naungan ketika itu...."

Selasa, 21 September 2010

SETETES AIR KEHIDUPAN

Petaka hari ini datang lagi, dengan rasa yang sulit untuk di ucapkan dan dilantangkan, aku hanya berkesempatan sekali saja untuk menuliskan. Hanya sekedar rasa yang terlalu membabi buta. Gundah rasanya tak punya arti dalam kehidupan, atau hanya diriku saja yang  rasanya tak bisa mengartikan. Atau kadang2 memang harus begini dalam hidup, tak berarti dan terasa hampa setiap detik dan harinya.

Hidup adalah perjalanan untuk kematian, yang kadang2 kematian adalah jalan pasti yang harus kita temui bersama. Jika bicara mati, kita harus bicara tentang hidup. Jadi teringat tentang sebuah cerita simetrisnya hidup, dan memang seharusnya simetri. Ketika kita dilahirkan, kita semua pasti akan menangis, jika tidak menangis, pasti akan dipaksa untuk menangis. Dan kita semua tahu, rata2 orang yang ada disekitar kita pasti akan tertawa menyambut kedatangan kita di dunia. Setelah mengalami beberapa dekade kehidupan, rata2 orang pasti akan menikah, saat menikah, kita akan tertawa dan rata2 orang disekitar kita pun akan tertawa. Lama menjalani kehidupan yang pengat dan keras, kita pun pasti akan mengalami kematian, ketika kita mati, rata2 orang yang ada disekitar kita akan menangis (bukan karena apa2, hanya karena formalitas mungkin), dan seharusnya agar semuanya berjalan simetri, saat kematian itulah kita harus tertawa

Bukan perkara gampang untuk mati dalam keadaan tertawa, saat mati (kata pak kyai) adalah saat paling mengerikan dalam semua proses perjalanan kehidupan kita. Hanya manusia2 yang memiliki kemantapan dalam keimananya saja yang mampu tertawa dalam kematian. Manusia ini gembira setengah mati, karena sebentar lagi dia akan diganjar oleh sang empunya hidup. Saking gembiranya, hingga saat kematianya dia tertawa. Dan memang, seharusnya tertawa dalam kematian adalah kewajiban bagi kita semua, bukan untuk apa2, hanya sekedar untuk menyimetrikan kehidupan yang kita jalani. 

Jika hidup anda sekarang saja masih kurang simetri, jadikan akhir dari hidup anda menjadi penutup bagi kesimetrian yang sempurna. Dengan memantapkan hati untuk selalu berjalan dalam perenungan tentang Tuhan, kita mungkin dapat menyimetrikan kehidupan. Bukan sekedar sholat yang hanya untuk menanggalkan kewajiban, namun, sholat yang benar2 dapat mengembalikan hati kita kepada Tuhan. Untuk  apa susah payah dalam ibadah, jika hasilnya adalah merasa "mampu melakukan" dalam hati kita. Mari, bersama2 untuk mengejar kesimetrian hidup, agar kita bukan termasuk orang2 yang akan kecewa di Alam sana.....   


KETIKA MARAH ADALAH DIAM

Semilir angin mengenai alam bawah sadarku

Begitu hangat dan tak peduli akan semuanya

Jemari menari dan angan membumbung tinggi

Seonggok daging mengucap syukur pada Nya

Syukur yang tak terlupa

Jiwa meronta raga menghempas

Terlepas......

Sadar ku mulai merayap pasti

Setitik harapan menggebu di hadapanku

Angan kembali muncul dan mencongkel semuanya

Semua tanpa tersisa

Hinga jiwa ku kabur entah kemana

Cungkup mahkota telah membawa nya

Dan jiwaku kembali ke paraduan semula

Peraduan yang terlupa dan tertutup oleh syukur ku

Semua terlempar tak tersisa tanpa bekas

Bahkan  telapak tubuhku pun menghilang entah kemana

Semuanya memang lebih agung

Lebih sempurna

Lebih dahsyat

Tanpa ampun ku tertindas

Di injak sampai ke dasar palung terdalam

Terhina oleh suasana

Kuratapi hingga ku mampu kembali ke permukaan

Sampai akhirnya ku terlempar kembali sampai ke perut bumi

Tragis

Mengenaskan

Tapi membahagiakan

Bahagia atas semua peristiwa

Baik tertangkap baik

Buruk tertangkap buruk

Tertawa atas dasar benang merah

Tertawa atas dasar senyum

Tertawa atas dasar retorika

Ku tinggalkan semua peristiwa

Ku berjalan menaiki kembali

Sampai saat ini ku telah sampai perut vulkano

Di temani para cecunguk setiaku

Di temani para kampas emosi ku

Terima kasih para-para ku

Jumat, 17 September 2010

BERKAWAN BANTAL DAN SELIMUT



Selatan, berkabur menjadi utara. Mata kantuk dan hanya berlinang air mata. Tak sengaja atau memang tidak disengaja, mata tertarik kedalam nangungan yang memang seharusnya. hidup hanya sekedar menjalankan yang memang seharusnya dijalankan. Garis guratan itu sudah tertulis dijidat masing2 sang bintang. Mata menyorot tajam pada satu sudut yang sedikt agak berbau pesing. Hanya mengigau, tapi mereka tahu pasti, bahwa mereka hidup dalam kenyataan. Mereka yang menari, tak repot2 mencari makan esok hari, makanan tersedia, hingga mereka tak tahu tanda2 lapar atau kelaparan, mereka hanya tahu kata orang tua, setelah makan memang kenyang.
Bergetar rasanya, ketika mendengar kata orang, bahwa cinta mesti berkorban, atau memang dadaku harus bergetar, setiap ku sebut namamu. Getaran yang memang harus terasa hingga ubun2 malu mendengar getaran itu. Apa kabar kawan, saat kujenguk, kau terbaring lemah berkawan bantal dan berdinding selimut. Aku tahu itu air mata, walau kutak tahu harus memelas seperti apa, Ilahi tak sudi melihat imanku yang hanya kugadai dengan semacam dunia, atau beberapa kali kuselingkuh dengan dunia.
Angin dari sang fajar benar2 memperhatikan setiap langkah burung, bercicit suit seantero nusantara. Ada yang menangis, dengan alunan tangis yang sedikit mendayu-dayu. ini hanya sementara, dan kutahu pasti, sementara tidaklah lama, dan kadang memang terasa berat. Mata kanan berubah bentuk menjadi sedikit agak menyipit. Dengan kaki terselonjor lurus, dan mereka meregang beberapa kali, bersama beberapa kerbau. Kerbau yang beberapa kali pula menjadi teman para petani. Dan sekarang, sanca2 itu berkelahi dengan para petani.
Kertas-kertas itu masih murni dan kosong, takut sekali ku melihat, menggigil terasa seluruh otot dan pikiranku. Bertapa bertahun-tahun, hanya menimbulkan kepercayaan bahwa harimau itu baik, dan tak berpikir harimau itu jahat. Apa kata yang tepat, untuk protes terhadap waktu. Tak ada, dan waktu hanya diam, tak berpikir bahwa malam akan berganti dengan pagi. Walau hari2 yang kujalani kan terasa sunyi, dan walau hampa pasti ku hadapi, selalu terucap, selamat jalan, dan semoga selamat sampai tujuan. Selamat tinggal, tidurlah yang lelap, dan mimpilah yang indah. Sampai detik tak terasa, gelas2 itu hanya tersisa satu. Dan tetap sepi dengan air2. Air murni yang dalam gelap semua kejahatan terjadi.
Gubuk ini tetap berdiri, pelukan fajar abadi yang kan selalu ku lewati hanya dengan sebuah senyum yang kemudian kulanjutkan dengan berbaring damai bersama para bantal dan pengaman selimut. Bermimpi sampai seribu mil lebih, dengan lagu alam yang membahana...

TENTANG TEH DAN KOPI

Malam yang agak larut ditengah kesepian. Kesepian yang mungkin terjadi dalam hati dan pikiran. Beberapa kali tertawa terbahak pun tak menjadikan sebuah keramaian. Beruntung Tuhan mencipta kopi, memang hitam dan pahit. Namun, inilah seni, seni yang akan selalu menemani dalam kesepian dan kepengatan hidup. Lambaian tangan sang mantan yang tertawa bersama sang lelaki yang kurang ajar itu tetap berdiri kokoh didepan pelupuk mata yang sedikit agak kacau. Tak terima namun tetap nyata, hanya dengan sedikit menghibur diri dan menenggak kopi pahit yang harus kental, adalah jalan terbaik yang pernah kutemui.

Tetap pekat, dan tak menarik. Dari rasa, pengaruh, atau segala hal yang tersemat didalamnya. Namun bagiku, dia tetap menarik. Selalu berhari2 bersama naungan kegundahan hati. Ingin rasanya mengulang meminumnya kembali, barang seteguk pun tak masalah. Atau memang hanya berharap akan meminumnya dalam mimpi, dan mengajaknya menari bersama. Hahaha....rasanya aneh kalau hanya dalam mimpi. Dalam kenyataan, walau konsekuensinya adalah dosa, aku tak masalah.

Ceritanya akan sedikit berbeda, jika saja kita setara. Aku tak tahu, kata setara itu terbuat dari apa, aku juga tak paham dengan detail apa yang membuat kita tak setara. Aku memang hanya teh, dan engkau kopi, dan memang kita sangat beda, rasanya, warnanya, namun kita sesama minuman, tak bolehkah sesosok teh meminum kopi. Kau hanya beralasan kalau kopi yang mengandungmu tak memperbolehkanku meminummu. Ya, aku hanya teh, dan tak akan pernah berubah jadi kopi, semua keluargaku juga teh, nenek, kakek bahkan para tetuaku semuanya teh.

Para dedaunan yang menemaniku berhari2 meminummu, kemarin mempertanyakanku tentang rasa kopi, daun2 itu ternyata tak pernah minum kopi, mereka hanya tahu sosok kopi yang sangat menarik. Katanya, kopi sangat cantik dan sedikit agak seksi. Aku hanya tersenyum menanggapi semuanya, kataku biarkan hanya aku yang tahu tentang rasa kopi. Untuk kalangan teh sepertiku, rasanya sedikit agak beruntung pernah meminum kopi rasa arabika, walau kopi yang ku minum hanya sedikit. Tapi tak apalah, walau sedikit yang penting aku pernah meminumnya.

Pengalamanku tentang kopi, membawaku terbang melayang. Melayang2 tak tentu arah tujuan, dan sesampainya kembali ke bumi, aku tak tahu lagi mana utara dan mana selatan, atau bahkan timur dan barat. Semuanya terlihat kabur dan dan serba tak jelas. Ketika berjalan dengan sesama teh, aku kebingungan dan celingukan. Seperti daun kering yang tak punya arti lagi, atau mungkin sekarang aku hanya berfungsi sebagai kompos bagi teh2 yang lain. Entahlah....

Senin, 06 September 2010

KETIKA BENCANA ADALAH TEMAN

Sore biasa dalam kampung yang sama. Perkotaan yang menjulang kemakmuran. Kesombongan tertata rapi. Riuhnya tak henti2nya membingungkan telinga. Perbedaan kasta begitu terasa disana-sini.
Mencoba belajar dari mereka yang menderita. Dari mereka yang menjadikan bencana adalah kawan, tamu, yang harus dan wajib disambut tiap penghujan datang. That’s cool. Menarik. Luar biasa. Indah sekali mereka. Tak heran jika mereka tetap tertawa dalam bencana.
Mereka manusia Indonesia. Yang sungguh luar biasa. Tak ada kesulitan dalam bencana. Susah adalah kawan, dan akan selalu disambut datangnya. Jika bencana habis, mereka akan berkoar “aku rindu dengan bencana”. Ketika mereka datang, akan disambut dengan senyuman.
Belajar dari mengikuti alam. Karena merasa bersalah dengan alam. Entah apa maknanya ini. Tanda akhir waktukah. Tapi ini indah, bersalah dan tetap tersenyum jika konsekuensi dari kesalahan datang. Menerima. Tapi tak pasrah. Kehidupan tetap berjalan tanpa halangan.
Andai kita merasa indah dalam tangisan, merasa bahagia dalam tusukan. Tak kan pernah kita mengiba pada apa pun. Selalu senyum dalam harapan. Karena ini konsekuensi “kesalahan” hidup kita. Inilah rahasia kebahagiaan orang2 terpinggirkan, rahasia para manusia yang hidup dalam api. Tertawa, senyum, menjadikan bencana jadi kawan, dan harus kita sambut. Monggo....!

PANTAT TAK BERCUKAI


Berawal dari kumpul2 dalam kamar yang punya gawe. Hiburan tontonan atau apapun yang menurut benak kami itu menarik. Tontonannya film edukasi tentang orang dewasa. Ini gambaran dari nestapa para pengabdi nafsu birahi. Saat semua khusuk menikmati gambaran birahi para artisnya, dan membayangkan “melakukan”. Ada kejadian menarik. Tiba2 dan tanpa dinyana siapapun, belanda menyerang. Dengan satu dentuman bom yang menghentak hidung dan lamunan.
Ledakan ditelusuri, dan ketemu. Ternyata dari salah satu lubang yang bertuan. Pantas saja ledakannya meletus sembarangan. Lubang itu tak pernah sekolah, dan lubang itu ilegal. Seperti rokok yang harus punya cukai untuk dijual, lubang itu tak bercukai. Inilah nasib ‘Pantat Tak Bercukai’.
Ya pantat. Sebuah lubang kecil yang dikawal oleh dua gundukan besar untuk melindungi nya. Pantat kita tak pernah bercukai dan akan selalu ilegal, bisa mengeluarkan ledakan. Kapan saja dan di mana saja. Tak peduli dihadapan presiden atau menteri. Yang pasti, pantat selalu bebas berekspresi. Jangan pernah salahkan pantat berirama, kalo kita sendiri tak pernah merasa menyekolahkan pantat untuk bertatakrama. Tak pernah mendaftarkan pantat kita kebadan cukai negara. Atau memberikan setempel lunas sekolah sembilan tahun.